“Asyik… Asyik…
aku masuk ke dalam kotak amal.” Goci (lima ribu) berteriak senang. Ia pun langsung berbaur dengan
uang-uang lainnya, ada si Sebi (seribu), si Gopi (lima ratus), si Sepu (Sepuluh
ribu), si Dopu (dua puluh ribu), si Limbu (lima puluh ribu) dan si Sertu
(seratus ribu).
“Hai kawan-kawan, Senangnya bertemu dengan kalian di sini. Semoga
kita bisa menjadi saksi dari orang-orang yang menaruh kita ke dalam kotak amal
ini.” Goci menyapa semua uang di dalam kotak amal bening itu. Semua uang
tersenyum menyambut kedatangan si Goci. Kotak amal bening yang berada di Masjid
Akbar, senantiasa menjadi pemandangan umum para jamaah yang hilir mudik hendak
melaksanakan shalat. Keberadaannya di depan pintu masjid sangat strategis,
tidak jarang orang-orang dengan senangnya “menitipkan” uangnya ke dalam kotak
amal. Tapi ada juga yang enggan atau pura-pura tidak melihat bahwa di depannya
ada kotak amal.
Dan hari ini adalah hari bersejarah bagi Goci. Bukan karena
nilainya yang termasuk besar yang ada di dalam kotak amal. Tapi karena si
pemilik Goci sebelumnya yang ia tahu bukanlah orang yang tergolong mampu. Hanya
si bapak tukang sapu jalanan. Goci sempat melirik wajah bapak itu sebelum
memasukkan Goci ke dalam kotak amal. Tersirat keikhlasan dalam wajah lugunya.
Goci sempat mendengar gumaman bapak itu, “Ya Allah, terimalah sedekahku untuk
rumah-Mu, semoga uang ini bisa bermanfaat.” Sebelum berada di kotak amal dan
milik si bapak tukang sapu jalanan, Goci adalah milik orang kaya yang memberikan
Goci pada bapak tukang sapu jalanan.
Sebagai imbalan karena telah membantu menyapu halaman rumahnya,
alasan orang kaya itu memberi. Dan kejadian itu belum berlangsung lama. Hanya
sekitar dua puluh menit sebelum Goci di masukkan ke dalam kotak amal, beberapa
saat sebelum azan Ashar berkumandang. Tapi bapak tukang sapu jalanan itu merasa
bahwa uang yang di dapat hari ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
dirinya bersama istri dan keempat anaknya yang masih kecil, maka Goci pun
langsung berpindah ke kotak amal. Goci amat terharu. Ia bisa menjadi tabungan
kebaikan bagi bapak tukang sapu jalanan. Nilai yang biasanya hanya di berikan
dari kantong orang-orang kaya. Tapi kali ini bukan orang kaya yang memasukkan
Goci ke kotak amal, hanya orang biasa. Yang mungkin karena ketulusannya bisa
menjadi istimewa di hadapan Allah. Goci ingat. Ketika pemiliknya masih orang
kaya, ia berada di dompet pemiliknya dalam waktu lama. Justru yang sering
keluar dari dompet adalah si Limbu dan si Sertu. Itupun yang Goci tahu,
kawannya itu meninggalkan dompet pemiliknya tatkala Goci dan kawan-kawan berada
di pusat perbelanjaan mewah. Pernah suatu kali, pemiliknya itu pergi ke Masjid
Akbar. Saat itu, ia hendak melaksanakan shalat Zhuhur sehabis makan siang.
Seusai shalat ia melirik ada kotak amal bening. Sempat berfikir lama, akhirnya
ia merogoh kantong dan menemukan si Sebi. Dan masuklah si Sebi ke kotak amal
itu sebagai penghuni. Meski Goci dan Sebi pernah di miliki oleh orang yang sama
sebelumnya, tapi mereka belum pernah berjumpa. Mereka sadar bahwa mereka pernah
di miliki oleh orang yang sama justru ketika mereka berjumpa dalam kotak amal,
saat mereka berbagi cerita.
“Mungkin karena aku hanya berada di kantong celana sedangkan kau
di dompet, jadinya kita tidak pernah bertemu.” Sebi memberikan penjelasan
kepada Goci.
“Alhamdulillah kita bertemu di sini ya Sebi. Padahal aku berharap
yang memasukkanku ke dalam kotak amal adalah orang kaya itu.” Goci pun
menerawang.
“Tidak apa Goci, justru kamu akan menjadi lebih bernilai nanti di
akhirat. Karena jumlahmu yang termasuk besar bagi bapak tukang sapu jalanan,
tapi tidak menghalanginya untuk memberi yang terbaik untuk agamanya….” Si Limbu
dengan bijak menghibur Goci.
“… Karena setahuku, jika yang memberikanmu adalah orang kaya itu
akan berbeda nilai dalam pandangan Allah.” Limbu menambahkan.
“Loh, emang kenapa? Bukankah Allah hanya melihat keikhlasan
hambaNya dalam memberi?” Tanya Gopi penasaran.
“Memang benar, keikhlasan adalah yang utama. Tapi di samping itu
bagi orang kaya, Goci mungkin tidak seberapa berharga dan orang kaya itu pasti
punya banyak uang senilai Goci bahkan yang nilainya jauh lebih besar. Tapi bagi
yang tidak mampu, mungkin Goci bisa jarang ia temui. Atau bahkan jika punya pun
pasti sangat berharga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.” Ujar Limbu.
“…. Makanya Allah menilai usaha orang yang tidak mampu, lebih
besar ketika beramal dengan jumlah yang sama dengan apa yang di berikan oleh
orang kaya. Karena alasan tersebut.” Sertu menambahkan penjelasan dari Limbu
“Benar… benar… benar.” Dopi dan Gopi tersenyum.
“Iya kawan-kawan. Mungkin jumlahku termasuk kecil bagi orang kaya,
tapi ternyata tidak semua orang kaya mau memasukkanku ke dalam sini.” Goci
terlihat senang.
“Siapapun yang memasukkan kita ke dalam kotak amal ini, semoga hanya
dilandasi keikhlasan karena Allah, bukan karena ingin di lihat atau terpaksa.”
Kata Sebi.
“Aamiin.” Uang itu serempak berucap.
Dan di sore nan sejuk itu, angin mengiringi langkah si bapak
tukang sapu jalanan menyisir setiap jalan di ibu kota dan membersihkannya dari sampah-sampah.
Dan uang-uang di kotak amal itu melantunkan doa terbaiknya untuk si bapak. “Secara
fisik bapak itu terlihat miskin, namun hatinya sangat kaya. Ia adalah orang
kaya sesungguhnya.” Goci berucap lirih. Rasulullah saw bersabda, “Satu dirham
bisa mengalahkan seratus ribu dirham. Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana mungkin satu dirham bisa mengalahkan seratus ribu dirham?” Beliau
menjawab, “Ada
seseorang yang memiliki dua dirham, lalu mengambil salah satu darinya dan menyedekahkannya.
Yang lain, memiliki banyak harta, lalu mengambil darinya seratus ribu dirham
saja.” (HR. Ahmad)
Hayoooo.....
Siapa yang sudah menjadi orang kaya yang sesungguhnya.....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar